KONSEP DAN KEBIJAKAN PAUD
I. PENDAHULUAN
Dewasa
ini, pendidikan anak usia dini (PAUD) telah menjadi bagian penting dari
sistem pendidikan di Indonesia. Pendidik PAUD memerankan tugas yang
sangat mulia, bagaimana pendidikan dalam usia emas dapat berjalan dengan
optimal.
PAUD
merupakan suatu tahap pendidikan yang tidak dapat diabaikan, karena
ikut menentukan perkembangan dan keberhasilan anak. Dengan adanya PAUD
diharapkan anak akan tumbuh dan berkembang dengan identitas diri yang
kuat, dalam arti dirinya sebaik dan setara dengan orang lain, bahkan
lebih.
Berbagai
hasil penelitian menyimpulkan bahwa pendidikan yang diperoleh pada usia
emas sangat mempengaruhi perkembangan dan prestasi anak ketika dewasa.
Bahkan masa depan bangsa dapat dikatakan bergantung pada kualitas
pendidikan anak di usia emas ini.[1]
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian dan konsep PAUD?
B. Apa Saja Dasar-dasar Penyelenggaraan PAUD?
C. Apa Isi Permendiknas No 58 Tahun 2009 ?
D. Apa Saja Teori Bermain Itu?
E. Apakah Manfaat Bermain Bagi Anak Usia Dini?
F. Apakah Manfaat PAUD?
G. Bagaimana Otak Pada Anak Usia Dini?
H. Bagaimana Belajar Bagi Anak Usia Dini?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam-macam konsep PAUD
1. Pengertian PAUD
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14
menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Sedangkan
pada pasal 28 tentang pendidikan anak usia dini dinyatakan bahwa
pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan
dasar, dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal,
dan atau informal.
Jadi PAUD
adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang
merupakan suatu upaya pembinaan yang di tujukan bagi anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun yang di lakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut, yang di selenggarakan pada jalur formal, non formal, dan
informal.
2. Konsep PAUD
Pada
dasarnya pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk
penyelenggaran pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke
arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi, motorik halus dan
kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan
spritual), sisi emosional (sikap, perilaku, dan agama), bahasa dan
komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang di
lalui oleh anak usia dini. [2]
Pendidikan
Anak Usia Dini merupakan pendidikan yang melibatkan seluruh aspek pada
anak, mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan social
anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan minat-minat dan gaya
belajar anak.
Terdapat dua tujuan di selenggarakannya pendidikan anak usia dini, yaitu:
a. Tujuan utamanya adalah membentuk anak
yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya, sehingga memiliki kesiapan yang optimal di
dalam memasuki pendidikan dasar serta megaruhi kehidupan di masa dewasa.
b. Membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar akademik di sekolah.[3]
B. Dasar-dasar Penyelenggaraan Pendidikan PAUD
1. Landasan Yuridis
a. UU
No 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yaitu
manusi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa dan berbudi
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang matang dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
b. Pasal
28B ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, sedangkan pada pasal 28C ayat 2 dinyatakan bahwa setiap
anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari iptek , seni,
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.
c. UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab 1, pasal
1, butir 14 dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan
usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan, pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Sedangkan pada pasal 28 tentang pendidikan anak usia dini dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, non formal, dan atau informal. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal : TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non fofmal: KB,TPA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan usia dini jalur informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
d. UU
RI Nomor 23Tahun 2002 pasal 9 ayat 1 tentang perlindungan anak
dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pendidikan
dalam rangka pengembangan pribadinyadan tingkat kecerdasan nya sesuai
dengan bakat dan minatnya. [4]
2. Landasan Filosofis dan Religi
Pendidikan
dasar anaka usia dini, pada dasarnya harus berdasarkan pada nilai-nilai
filosofis dan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada
disekitar anak dan agama yang dianutnya. Didalam islam dikatakan bahwa
“seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang membuat
anaknya menjadi yahudi, nasrani, yahudi, dan majusi,” maka bagainana
kita bisa menjaga serta meningkatkan potensi kebaikan tersebut, hal itu
tentuu harus dilakukan sejak usia dini.
Pendidikan
agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana agama
diamalkan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman
nilai-nilai agama tersebut disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak
serta keunikan yang dimiliki oleh setiap anak. Islam mengajarkan
nilai-nilai keislaman dengan cara pembiasaan ibadah, contohnya puasa,
shalat lima waktu, dan lain-lain.
3. Landasan Keilmuan dan Empiris
Konsep keilmuan PAUD bersifat isomorfis, artnya
kerangka keilmuan PAUD dibangun dari interdisiplin ilmu, yang merupakan
gabungan dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya psikologi, fisiologi,
sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan, dan
gizi, serta neurosains (ilmu tentang perkembangan otak anak manusia).
Dari
segi empiris sangat penting, banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa
PAUD antara lain yang menjelaskan bahwa pada waktu manusia lahir,
kelengkapan organisasi otak memuat 100-200 milyar sel otak yang siap
dikembangkan serta diaktualisasikan mencapai tingkat perkembangan
potensi tinggi, tetapi hasil riset membuktikan bahwa hanya lima persen
dari potensi otak itu yang terpakai. Hal itu disebabkan kurangnya
stimulasi yang mengoptimalkan fungsi otak. [5]
C. Permendiknas No 58 Tahun 2009
Standar
PAUD merupakan bagian integral dari Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang dirumuskan dengan
mempertimbangkan karakteristik penyelenggaraan PAUD. Standar PAUD
terdiri atas empat kelompok, yaitu: Standar tingkat pencapaian perkembangan, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar isi, proses, dan penilaian dan Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
1. Standar tingkat pencapaian perkembangan
Standar
ini berisi kaidah pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun. Tingkat perkembangan yang dicapai
merupakan aktualisasi potensi perkembangan yang diharapkan dapat dicapai
anak pada setiap tahap perkembangannya, bukan merupakan suatu tingkat
pencapaian akademik.
2. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
Memuat kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan. Pendidik anak usia dini adalah profesional yang bertugas, merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pengasuhan dan perlindungan anak didik. Pendidik bertugas di berbagai jenis layanan baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal. Di jalur formal terdiri dari guru dan guru pendamping, sedangkan di jalur non formal pendidik PAUD terdiri dari guru, guru pendamping, dan pengasuh.
Tenaga Kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan. Pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada lembaga PAUD. Di jalur formal terdiri dari Pengawas, Kepala TK/RA, Tenaga Administrasi, dan Petugas Kebersihan. Dan untuk jalur PAUD Nonformal terdiri dari Penilik, Pengelola, Administrasi, dan Petugas Kebersihan.[6]
3. Standar isi, proses, dan penilaian
Meliputi
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program yang dilaksanakan
secara terpadu sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi setempat. Struktur program meliputi, bidang pengembangan pembentukan perilaku, bidang pengembangan kemampuan dasar, melalui kegiatan bermain dan pembiasaan.
Bentuk Kegiatan Layanan, Alokasi waktu, dan Kalender Pendidikan. Serta rombongan belajar yang meliputi:
1) Kelompok usia 0 - <1 tahun 1 : 4 anak
2) Kelompok usia 1 - <2 tahun 1 : 6 anak
3) Kelompok usia 2 - <3 tahun 1 : 8 anak
4) Kelompok usia 3 - <4 tahun 1 : 10 anak
5) Kelompok usia 4 - <5 tahun 1 : 12 anak
6) Kelompok usia 5 - ≤6 tahun 1 : 15 anak.
4. Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Mengatur persyaratan fasilitas, managemen, dan pembiayaan agar dapat menyelenggarakan PAUD dengan baik.
D. Bermain Bagi Anak
Dunia
anak adalah dunia bermain, yang merupakan fenomena sangat menarik bagi
para pendidik, psikolog, dan ahli filsafat sejak zaman dahulu. Mereka
tertantang untuk lebih memahami arti bermain dikaitkan dengan tingkah
laku anak. Walaupun konsep bermain telah digunakan sejak bertahun-tahun,
tetapi lebih sulit untuk mendefinisikannya.[7]
Permainan
merupakan prasyarat untuk keahlian anak selanjutnya, suatu praktek
untuk kemudian hari. Permainan penting sekali untuk perkembangan
kemampuan kecerdasan. Dalam permainan, anak-anak dapat bereksperimen
tanpa gangguan, dengan demikian anak akan mampu membangun kemampuan yang
kompleks. Contohnya bermain dengan krayon dan kertas, menggambar,
memanipulasi balok-balok kayu, mekanika, dan lain-lain. Bermain dengan
benda dapat memahukan kemampuan untuk membangkitkan cara-cara baru menggunakan benda-benda tersebut.
Salah
satu hipotesis yang terkenal dalam psikologi perkembangan menyebutkan
bahwa bermain dapat membantu perkembangan kecerdasan. Terbukti dalam
suatu penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak mempunyai
mainan dan sedikit kesempatan untuk bermain dengan anak lain akan
tertinggal secara kognitifdari teman seusianya yang memiliki cukup
kesempatan untuk bermain.[8]
Bermain
mempunyai banyak manfaat dalam mengembangkan keterampilan dan
kecerdasan anak agar lebih siap menuju pendidikan selanjutnya.
Kecerdasan anak tidak hanya ditentukan oleh
skor tunggal yang diungkap melalui tes intelegensi saja, akan tetapi
anak juga memiliki kecerdasan jamak yang berwujud berbagai keterampilan
dan kemampuan.
Contohnya
ketika menolong teman, tidak saling berebut dan bertengkar, kesediaan
berbagi, melatih disiplin, berani mengambil keputusan, dan bertanggung
jawab. Tidak hanya itu, bermain juga dapat menjadi media untuk
mengembangkan kemampuan berimajinasi dan bereksplorasi.[9]
Bermain
merupakan cara atau jalan bagi anak untuk mengungkapkan hasil
pemikiran, perasaan serta cara mereka menjelajahi lingkungannya. Bermain
juga membantu anak dalam menjalin hubungan sosial. Dengan demikian anak
membutuhkan waktu yang cukup untuk bermain.
E. Teori Bermain Anak Usia Dini
Bermain
dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas
bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan
bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah
satu prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain
dan belajar.
Pada
usia anak–anak fungsi bermain berpengaruh besar sekali bagi
perkembangan anak. Jika pada orang dewasa sebagian besar perbuatannya
diarahkan pada pencapaian tujuan dan prestasi dalam bentuk kegiatan
kerja, maka kegiatan anaka sebagian besar dalam bentuk bermain.
Dengan
bermain anak memenuhi kepuasan fisik, emosi, sosial, dan perkembangan
mental, sehingga anak dapat mengekspresikan perasaannya baik itu
perasaan kekuatan, kesiapan fantasi maupun kreativitasnya.
Dalam
pembahasan berikut diketengahkan beberapa teori yang relevan dengan
kajian bermain. Berikut teori-teori tentang permainan dari para pakar:
1. Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz, dua orang sarjana Jerman diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka
menyatakan permainan itu sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan
dari kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan
bermain-main apabila ia merasa capai sesudah berkerja atau sesudah
melakukan tugas-tugas tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa “
me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh yang tengah lelah.
2. Teori Pemunggahan (Ontlading Stheorie) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer,
permainan disebabkan oleh mengalir keluarnya enegi, yaitu tenaga yang
belum dipakai dan menumpuk pada diri anak itu menuntut untuk
dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan itu energi tersebut
“mencair” dan “menunggah” dalam bentuk permainan. Teori ini disebut juga sebagai teori “kelebihan tenaga” (krachtoverschot-theorie). Maka permainan merupakan katup pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan.
3. Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall, menyatakan
bahwa selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase
kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua factor
hereditas (waris, sifat keturunan), yaitu segala pengalaman jenis
manusia sepanjang sejarah akan diwariskan kepada anak keturunannya,
mulai dari pengalaman hidup dalam gua-gua, berburu, menangkap ikan,
berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai dengan menciptakan
kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam
bentuk permainan-permainannya.
4. Teori Biologis oleh Karl Groos, sarjana Jerman (dikemudian hari Maria Montesori juga bergabung pada paham ini) menyatakan
bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macam-macam
fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan
baik bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn
hidup itu sendiri.
5. Teori
Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan
dorongan- dorongan yang tidak disadari pada anak-anak dan orang dewasa.
Ada dua dorongan yang paling penting menurut Alder ialah : dorongan
berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan seksual atau libidi sexualis.
Alder berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau kompensasi
terhadap perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa
disalurkan perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan- perasaan rendah
hati.
6. Teori fenomenologis oleh professor Kohnstamm,
seorang sarjana Belanda yang mengembangkan teori fenomenologis dalam
pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan satu,
fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan.
Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain
itu, yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi
tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi,
tujuan permainan adalah permaianan itu sendiri.[10]
F. Manfaat PAUD
Manfaat
PAUD bagi anak pra sekolah adalah mereka yang belum berumur 6 tahun
bisa bersekolah melalui PAUD ini, karena didalam PAUD itu sendiri bukan hanya pendidikan formal yang diajarkan melainkan pendidikan non formal.
Pada
dasarnya mengarahkan pendidikan kepada anak sebelum umur 6 tahun itu
lebih baik, karena anak bisa merasakan kegiatan bersekolah meskipun
belum mencapai umur. Mereka
bisa bermain dengan teman sebayanya dan pendidik pun akan mengarahkan
ke arah permainan yang bermanfaat bagi si anak. Jadi, manfaat PAUD bagi
anak pra sekolah, mereka bisa merasakan sekolah sebelum memasuki sekolah
yang sebenarnya dan mempunyai bekal pendidikan yang telah di ajarkan di
PAUD.[11]
G. Otak Pada Anak Usia Dini
Otak dapat dikatakan sebagai pusat perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak terdiri atas seratus miliar sel saraf (Neuron), dan setiap sel memiliki sekitar tiga ribu koneksi dengan sel-sel saraf yang lainnya. Neuron ini terdiri dari inti sel (Nucleus)
dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel saraf
yang satu ke sel yang lainnya. Perkembangan otak manusia yang paling
pesat terjadi pada masa prenatal, yaitu ketika dalam kandungan dan
beberapa bulan setelah kelahiran.[12]
Struktur otak manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1. Otak Besar (Cerebrum)
Otak besar sering juga disebut sebagai intelligence quotion. Berfungsi sebagai sensor yaitu menerima rangsangan,
yang mengkoordinasi fungsi penglihatan, pendengaran, perasa, pencium,
peraba. Cara kerja dari otak besar yaitu alat-alat sensor menerima
rangsang yang diteruskan melalui jaringan saraf yang mengubahnya menjadi
energi elektromagnetik ke otak kecil. Cerebrum terbagi menjadi dua
belahan yang dibatasi sebuah celah yang dalam. Walaupun terbagi dua,
kedua belahan cerebral bisa bekomunikasi antara satu dengan yang lainnya
melalui sebuah serabut saraf yang tebal terletak pada dasar celah.
Kedua belahan ini bisa disebut otak kiri dan otak kanan. Otak kiri
berhubungan dengan kemampuan berlogika, sedangkan otak kanan kemampuan
berimajinasi.
2. Otak Tengah (Hypothalamus)
Otak
tengah berfungsi sebagai pusat rasa dan pengatur suhu tubuh. Seluruh
rasa seperti senang, benci, malu, kecewa, dan sebagainnya di
koordinasikan oleh bagian otak ini. Informasi dari otak besar secara
bolak-balik masuk otak tengah, otak kecil dan kembali ke otak besar.
ketika suatu rangsangan lebih di proses oleh bagian ini maka info
tersebut akan di respon ulang sebagai luapan rasa, sebagai contoh ketika
seorang anak baru saja menyadari bahwa ia ditinggal oleh orang tuannya
pergi kerja kemudian ia menanggis keras. Rangsang dari pengelihatan
bahwa di sekelilingnya tidak ada figur yang selalu melindunginya yaitu
orang tuannya di teruskan di otak tengah dan otak kecil, jika ia belum
mempunyai otak kecil yang berkembang maksimal untuk memberikan
pertimbangan respon balik di dominasi oleh otak tengah berupa rasa sedih
yang di ekspresikan berupa menangis keras. fungsi mengontrol emosi
inilah yang di sebut sebagai emosional quation.[13]
3. Otak Kecil (Cerebellum)
Otak
kecil sering di sebut juga spiritual quation berfungsi sebagai pusat
kesadaran. Disinilah informasi dari otak besar dan otak tengah di
analisa untuk kemudian diputuskan respon balik rangsang tersebut.
Analisa di dasarkan pada memori sekumpulan nilai, aturan, dan bahan
pertimabangan lain yang tersimpan dalam otak kecil. Semakin banyak
menyimpan arsip ingatan seoarang anak akan semakin mampu mempunyai
solusi terhadap suatu rangsang. Termasuk fungsi bagian otak ini ialah
sebagai pusat keseimbangan dan otomatisasi. Sebuah pengetahuan yang
sudah berproses secara matang akan menjadi otomatisasi melalui kerja
otak kecil ini.
Sebagai
contoh seoarang anak yang baru belajar maengendarai sepeda akan sering
mengalami jatuh dari sepeda karena rangsang masih sebatas di terima oleh
otak besar untuk di temukan titik keseimbangannya. Ketika titik
keseimbangannya telah di temukan maka kali ini akan di kemas menjadi
pengetahuan dan di arsipkan dalam otak kecil untuk kemudian bisa di
reproduksi sewaktu-waktu saat di butuhkan. Inilah yang di sebut proses
otomatisasi, maka anak bisa main sepeda tanpa jatuh sambil memikirkan
suatu hal yang lain karena keseimbangan naik sepeda sudah menjadi
otomatisasi.
Titik
God spot atau titik ketuhanan terletak bagian otak ini. Dengan asumsi
setiap manusia sebagai mahluk atau Ciptaan Tuhan mempunyai sifat atau
ilmu bawaan Tuhan yang masih berupa bakat. Bakat ini bisa diolah menjadi
skill sehingga manusia bisa memproyeksikan nilai-nilai Tuhan seperti
pengasih, penyayang dan lain sebagainnya.[14]
H. Belajar Bagi Anak Usia Dini
Skinner memberikan definisi belajar “Learning is a process progressive behavior adaptation”.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan
suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti
bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan
sebelumnya. Disamping itu belajar juga memebutuhkan proses yang berarti
belajar membutuhkan waktu untuk mencapai suatu hasil.[15]
Setiap
anak memiliki cara tersendiri dalam belajar, dengan cara tersendiri
tersebut mereka bisa lebih mudah memahami apa yang dipelajari. Ada
beberapa gaya belajar pada anak, yaitu visual, auditorik, dan taktil
atau kinestetik.
1. Visual
Anak yang mempunyai cara belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka pengajar atau gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Anak dengan tipe ini adalah menyukai deskripsi, sehingga seringkali ditengah-tengah membaca berhenti untuk membayangkan apa yang dibacanya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
a. Mengeja, mengenali huruf melalui rangkaian kata yang tertulis.
b. Menulis, hasil tulisan cenderung baik, terbaca jekas dan rapi.
c. Ingatan, terkadang dapat mengingat muka tetapi lupa nama, selalu menulis apa saja.
d. Imajinasi, memiliki imajinasi kuat dengan melihat detil dari gambar yang ada.
e. Distraktibilitas, lebih mudah terpecah perhatiannya jika ada gambar.
f. Pemecahan, menulis semua hal yang dipikirkan dalam suatu daftar.
g. Respon terhadap periode kosong aktivitas, jalan-jalan melihat sesuatu yang dapat dilihat.
h. Respon untuk situasi baru, melihat sekeliling dengan mengamati struktur.
i. Emosi, mudah menangis dan marah, tampil ekspresif
j. Komunikasi, tenang tak banyak bicara panjang, tak sabaran mendengar, lebih banyak mengamati.
k. Penampilan rapi, paduan warna senada, dan suka urutan.
l. Respon terhadap seni, apresiasi terhadap seni apa saja yang dilihatnya secara mendalam dengan detil.
2. Auditori
Anak
yang mempunyai cara belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan
menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan. anak dengan tipe ini adalah menikmati percakapan dan tidak mempedulikan ilustrasi yang ada. Ciri-cirinya adalah:
a. Mengeja menggunakan pendekatan bunyi kata.
b. Menulis, hasil tulisan cenderung tipis, seadanya.
c. Ingatan, seringkali meng ingat nama tetapi lupa muka, ingatan melaui pengulangan.
d. Imajinasi , tak mengutamakan detil, lebih berpikir mengandalkan pendengaran.
e. Distraktibilitas, mudah terpecah perhatiannya dengan suara.
f. Pemecahan masalah melalui lisan.
g. Respons terhadap periode kosong aktivitas, ngobrol atau bicara sendiri.
h. Respon untuk situasi baru, Bicara tentang pro dan kontra.
i. Emosi, berteriak kalau bahagia, mudah meledak tapi cepat reda, emosi tergambar jelas melalui perubahan besarnya nada suara, dan tinggi rendahnya nada.[16]
j. Komunikasi, Senang mendengar dan cenderung repetitif dalam menjelaskan.
k. Penampilan, tidak memperhatikan harmonisasi paduan warna dalam penampilan.
l. Respon terhadap seni, Lebih memilih musik. Kurang tertarik seni visual, namun siap berdiskusi sebagai karya secara keseluruhan, tidak berbicara secara detil pada komponen yang dilihatnya.
3. Taktil atau Kinestetik
Anak
yang mempunyai cara belajar kinestetik belajar melalui bergerak,
menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam
berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktivitas dan eksplorasi sangatlah kuat. Anak dengan tipe belajar seperti ini lebih memiliki karakteristik yang sejak awal sudah menunjukkan adanya aksi.
a. Mengeja, Sulit mengeja sehingga cenderung menulis kata untuk memastikannya.
b. Menulis, hasil tulisan “nembus” dan ada tekanan kuat pada alat tulis sehingga menjadi sangat jelas terbaca.
c. Ingatan, Lebih ingat apa yang sudah dilakukan, daripada apa yang baru saja dilihat atau dikatakan.
d. Imajinasi, imajinasi tak terlalu penting, lebih mengutamakan tindakan atau kegiatan.
e. Distraktibilitas, perhatian terpecah melalui pendengaran.
f. Pemecahan masalah melalui kegiatan fisik dan aktivitas.
g. Respons terhadap periode kosong aktivitas, mencari kegiatan fisik bergerak.
h. Respon untuk situasi baru, mencoba segala sesuatu dengan meraba, merasakan dan memanipulasi.
i. Emosi, melompat-lompat kalau gembira, memeluk, menepuk, dan gerakan tubuh keseluruhan sebagai luapan emosi.[17]
j. Komunikasi, menggunakan gerakan kalau bicara, kurang mampu mendengar dengan baik.
k. Penampilan rapi, namun cepat berantakan karena aktivitas yang dilakukan.
l. Respon terhadap seni, respon terhadap musik melalui gerakan. Lebih memilih patung, melukis yang melibatkan aktivitas gerakan.
IV. KESIMPULAN
Dari
sedikit pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa PAUD adalah jenjang
pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya
pembinaan yang di tujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia 6
tahun yang di lakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang di
selenggarakan pada jalur formal, non formal, dan informal.
Dalam
pelaksanaan PAUD ada beberapa hal yang dapat dijadikan landasannya,
yaitu landasan yuridis, Filosofis dan religi, serta landasan keilmuan
dan empiris.
Standar PAUD terdiri atas empat kelompok, yaitu: Standar tingkat pencapaian perkembangan, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar isi, proses, dan penilaian, serta Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Bermain
merupakan cara atau jalan bagi anak untuk mengungkapkan hasil
pemikiran, perasaan serta cara mereka menjelajahi lingkungannya. Bermain
juga membantu anak dalam menjalin hubungan sosial. Adapun teori-teori bermain yang dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz, Teori Pemunggahan (Ontlading Stheorie) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer, Teori Biologis oleh Karl Groos, Teori Psikologis Dalam, dan Teori fenomenologis oleh professor Kohnstamm.
Setiap
anak memiliki cara tersendiri dalam belajar, dengan cara tersendiri
tersebut mereka bisa lebih mudah memahami apa yang dipelajari. Ada
beberapa gaya belajar pada anak, yaitu visual, auditori, dan taktil atau
kinestetik.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini, Psikologi Anak, Bandung : Bandar Maju, 1995.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Noorlaila, Iva, Panduan Lengkap Mengajar PAUD, Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010.
Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010.
Santi, Danar, Pendidikan Anak Usia Dini (Antara Teori dan Praktek), Jakarta: PT Mancanaa Jaya Cermelang, 2009.
Sujiono, Yuliani Nurani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: PT Indeks, 2009.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/KKN%20BANTUL%20PERMEN%2058.pdf, (Sabtu, 14/04/2012, 09:02).
http://amaliafirdausia.wordpress.com/2009/12/31/pendidikan-anak-usia-dini-bagi-usia-pra-sekolah/, (Kamis, 12/04/2012, 09:04).
[2] Danar Santi, Pendidikan Anak Usia Dini (Antara Teori dan Praktek), (Jakarta: PT Mancanaa Jaya Cermelang, 2009 ), hlm. 6.
[4]Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hlm. 8.
[5]Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, hlm. 9-10.
[6]http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/KKN%20BANTUL%20PERMEN%2058.pdf, (Sabtu, 14/04/2012, 09:02).
[7]Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 149.
[8] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, hlm. 151.
[11] http://amaliafirdausia.wordpress.com/2009/12/31/pendidikan-anak-usia-dini-bagi-usia-pra-sekolah/, (Kamis, 12/04/2012, 09:04).
[12]Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010), hlm. 20.
[14]Partini, Pengantar Anak Usia Dini, hlm. 22.