selamat datang sumber beljar

SELAMAT DATANG

SHALAT JUM’AT TANPA MUSTAUTHIN DAN MUQIMIN SERTA HUKUM QURBAN DENGAN IURAN



SHALAT JUM’AT TANPA MUSTAUTHIN DAN MUQIMIN SERTA HUKUM QURBAN DENGAN IURAN

I.                   PENDAHULUAN
Pada hari Jum’at umat Islam disyariatkan untuk berkumpul agar mereka mengingat kebesaran nikmat Allah. Pada hari itu juga disyariatkan adanya khutbah untuk mengingatkan orang-orang terhadap nikmat Allah tersebut serta memotivasi mereka untuk mensyukurinya. Pada hari itu juga disyariatkan untuk dilakukan shalat tengah hari, agar orang-orang dapat berkumpul dalam satu masjid. Allah memerintahkan orang-orang mu’min untuk menghadirinya dan mendengarkan khutbah serta melakukan shalat berjama’ah.
Pada bulan Dzulhijjah bagi umat Islam yang mampu berkorban diwajibkan (menurut sebagian Ulama) untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Tujuan dilaksanakan Qurban adalah untuk menggembirakan faqir miskin di hari raya haji, sebagaimana mereka  digembirakan pada Hari Raya Fitrah dengan pemberian zakat fitrah.
Seiring dengan berkembangnya zaman bermunculan berbagai persoalan terkait sholat Jum’at yakni bagaimana shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin. Sementara dalam ibadah qurban bagaimana hukum pelaksanaan qurban dengan iuran. Permasalahan tersebut akan saya coba uraikan pada makalah kali ini.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana shalat jum’at tanpa mustauthin dan muqimin ?
2.      Bagaimanakah hukumnya berqurban dengan iuran ?
III.             PEMBAHASAN
1.      Shalat Jum’at tanpa Mustauthin dan Muqimin
Shalat jum’at ialah shalat dua raka’at sesudah khutbah pada waktu dzuhur pada hari Jum’at. Hal tersebut sebagaimana Firman Allah :
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
  Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Q.S. Al-Jumuah : 09)
وشرائط فعلها ثلاثة: أن تكون البلد مصراً أو قرية وأن يكون العدد أربعين من أهل الجمعة، وأن يكون الوقت باقياً،[1]
Mendirikan shalat jum’at harus memenuhi 3 syarat yaitu :
a.       Di kampung (tempat tinggal yang tetap).
b.      Jumlah orang mencapai 40 orang.
c.       Telah masuk waktu shalat.
Sebagaimana disebutkan dalam keterangan diatas bahwa syarat yang menyebabkan jadi sahnya shalat tersebut adalah diadakan di negeri yang penduduknya menetap. Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, banyak kantor, pertokoan, kawasan industri dan kompleks perumahan yang menyelenggarakan sholat Jum’at. Jama’ah shalat terdiri dari pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli ( mustauthin ) atau orang-orang yang berdomilisi untuk sementara waktu di tempat tersebut ( muqimin ). Kalau pun ada, jumlahnya sedikit dan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Pertanyaannya adalah: bagaimana hukum shalat Jum’at yang dilakukan di perkantoran, hotel-hotel dan restauran-restauran dan tempat-tempat lain seperti di atas yang tanpa mustauthin dan muqimin ? Disini pemakalah akan menjabarkan dulu apa yang di sebut dengan musafir, mustauthin dan muqimin.
Musafir adalah seseorang yang bepergian untuk beberapa saat meninggalkan kampung tempatnya menetap. Mustauthin adalah  orang yang berdiam, menjadi penduduk (yang mempunyai KTP).[2] Adapun Muqimin ialah orang-orang yang bertempat tinggal untuk beberapa waktu lamanya di suatu tempat atau negeri. Biasanya mereka menuntut ilmu (agama) yang akan kembali ke tempat asalnya, jika dirasa ilmu yang dituntutnya telah cukup.[3]
Ulama membedakan para pelaku sholat Jum’at dalam tiga status kependudukan, yaitu; Mustauthinin, Muqimin dan Musafirin.[4] Kaitan dengan sahnya mendirikan sholat Jum’at, mayoritas ulama syafi’iyyah menegaskan bahwa sholat jum’ah harus dilaksanakan oleh Mustauthinin dengan jumlah minimal empat puluh orang. Sholat Jum’at tidak sah bila dilakukan oleh Mustauthinin yang kurang dari jumlah minimal atau hanya melibatkan muqimin dan musafirin saja.
Oleh karena itu, bila mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah ini maka hukum sholat Jum’at yang dilaksanakan di perkantoran, hotel-hotel dan rumah sakit-rumah sakit di kota-kota besar adalah tidak sah karena mereka yang mengikuti sholat Jum’ah umumnya bukan penduduk setempat melainkan para pendatang dari daerah lain. Dalam istilah bahasa fiqh mereka bukan mustauthinin akan tetapi musafirin. Kalaupun ada mereka yang sudah menetap di tempat tersebut seperti penjaga kantor atau karyawan yang dirumahkan disekitar kantor, umumnya mereka tidak menetap untuk selama lamanya akan tetapi suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka. Mereka disebut sebagai muqimin dan tidak dapat memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat Jum’at. Tentunya, bila dalam jamaah sholat Jum’ah yang diadakan di perkantoran-perkantoran tersebut terdapat penduduk setempat lebih dari 40 orang maka sholat jum’ahnya sah, akan tetapi yang terakhir ini jarang sekali terjadi.
Imam Syafi’i berkata :”Saya mendengar dari beberapa orang sahabat kami yang mengatakan bahwa shalat jum’at itu wajib dilakukan oleh penduduk suatu desa, apapbila jumlah mereka telah mencapai 40 orang laki-laki. Maka kami  pun mengatakan hal yang demikian, dan itu adalah jumlah yang paling sedikit yang kami ketahui. Tidak boleh bagi saya meninggalkan pendapat ini, dan bukan merupakan hal yang baik bagi mereka yang menyelisihinya”.[5]
Imam Syafi’i mempunyai beberapa pendapat yang berbeda tentang jumlah jamaah yang harus dipenuhi dalam shalat Jum’at. Adapun pendapat yang lain dari Imam Syafi’i adalah 12 (dua belas) orang, hal ini didasarkan pada : “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, meraka bubar untuk menuju kepada-Nya dan mereka meninggalkanmu dalam kedaan berdiri ( berkhothbah )”. Pada saat ditinggalkannya para jamaah , Nabi Saw hanya ditemani oleh dua belas orang yang tidak pergi / bubar menuju perniagaan . Atas dalil ini Imam Syafi’i mengambil ‘Ibrah (pelajaran) bahwa shalat itu tetap sah dengan anggota jama’ah yang ada dua belas, atau sederhananya minimal mushalli itu ada dua belas orang. [6]
Bila mengikuti pendapat-pendapat dari Imam Syafi’i ini, maka agar dapat dikatakan sah, hendaknya sholat Jum’at di perkantoran-perkantoran dan sejenisnya setidaknya harus melibatkan empat orang atau dua belas penduduk setempat. Tentunya ini tidak sesulit ketika masih disyaratkan diikuti oleh paling tidak empat puluh orang dari penduduk setempat.
Abu Ali Ibnu Abi Hurairah berpendapat, shalat jum’ah adalah sah meskipun hanya didirikan oleh muqimin, karena mereka tetap berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat Jum’at itu pun menjadi sah bagi mereka.
Dari beberapa keterangan diatas, sebenarnya tidak ada bilangan yang pasti mengenai banyaknya jama’ah shalat jum’at dalam kaitannya keberadaan mustauthin dan muqimin karena para Ulama’ pun berbeda pendapat menyikapi hal ini. Tapi kalau kita mau memakai qaul yang terakhir dari Imam Syafi’I, maka shalat Jum’at akan sah paling tidak didikuti oleh empat atau dua belas penduduk setempat.

2.      Hukum berqurban dengan Iuran
Menyembelih hewan qurban hukumnya sunnah muakkadah bagi setiap muslim yang mampu berqurban pada bulan haji.
Dewasa ini banyak kita saksikan banyak sekolah-sekolah di tanah air yang menbuat kebijakan tentang adanya pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang dilakukan dengan iuran. Bagaimana hukumnya menurut Islam?
Ada sebuah hadist dari Jabir yang menceritakan qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya.

صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيد لاضحى فلما انصرف اوتى بكبش فدبحه فقال : بسم الله والله اكبر هدا عنى وعن لم يضح من امتى

aku shalat Idul adha bersama Rasulullah SAW. Setelah selesai, diambil seekor kambing. Beliau menyembelihnya dan bersabda : “Bismillah, Allahu Akbar. Ini qurbanku dan qurban yang tidak dapat berqurban dari umatku  ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmuzdi)
 Mengenai hadits ”qurban siapa saja yang tidak dapat berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berqurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya.[7]
Jadi, dari penjelasan di atas dapat simpulkan bahwa :
  1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
  2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
  3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
Menurut Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
dan ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, memberikan ketentuan sebagai berikut :
1.      Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
2.      Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang. Sebagaimana hadis Nabi dari Ibnu Abbas. Beliau mengatakan,     
 كُنَّ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” [8]
3.      Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
4.      Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.
Adapun mengenai masalah Qurban dengan sistem arisan, ini bisa di persamakan dengan kemampuan pelaksanaan akikah. Imam Ahmad bin Hambali mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, ”Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah. Qurban sama halnya dengan aqiqah. Tapi dengan catatan sebagai berikut :
  1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
  2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
  3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.[9]
IV.             KESIMPULAN
Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat di simpulkan bahwa shalat  Jumat tanpa Mustauthin dan muqimin maka shalat Jum’atnya tidak sah karena mayoritas ulama’ sepakat kalau musafir tidak wajib shalat juma’t. Adapun dalam kasus shalat Jum’at di hotel-hotel dan kota-kota besar yang  kebanyakan jama’ahnya  beraneka ragam, maka shalat Jum’at dianggap sah jika diikuti paling tidak empat atau dua belas penduduk setempat
Sedangkan dalam kasus pelaksanaan qurban dengan iuran, meskipun dari hadis Nabi pernah dilakukan oleh Rasul, tapi itu hanya kekhususan buat Nabi. Adapun kesimpulannya ada bebrapa poin berikut :
  1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
  2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
  3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
V.                PENUTUP
Demikianlah penulisan makalah masailul fiqhiyah haditsah yang diampu oleh Bapak Amin Farih saya susun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah selanjutnya.
























DAFTAR PUSTAKA
s
 Abdul, M Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,2001
Kamal bin As Sayid Salim,Abu Malik, Shahih Fiqih Sunnah 2,  Maktabah At Taufiqiyah,1995

Rifa’I, Moh., dkk., Kifayatul Akhyar (Terj.), Semarang : CV. Toha Putra, 1978

Syafi’I, Imam, Ringkasan Kitab Al Umm (terjm), Jakarta : Pustaka Azzam, 2008
http://buletinalghadier.blogspot.com/2009_05_01_archive.html.


s


[1]  Moh. Rifa’I, dkk., Kifayatul Akhyar (Terj.), (Semarang : CV. Toha Putra, 1978), hlm. 101
[2] M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 231.
[3]  Ibid., hlm. 225.
[4]  http://buletinalghadier.blogspot.com/2009_05_01_archive.html.

[5] Imam Syafi’I, Ringkasan Kitab Al Umm (terjm), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm.263.
[6] http://buletinalghadier.blogspot.com/2009_05_01_archive.html.

[8]   Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Shahih Fiqih Sunnah 2, ( Maktabah At Taufiqiyah,1995),  Hlm.370