selamat datang sumber beljar

SELAMAT DATANG

PERADABAN ISLAM PADA MASA SOEKARNO


PERADABAN ISLAM PADA MASA SOEKARNO

I.            PENDAHULUAN
Menyimak seluruh proses sejarah perjuangan kemerdekaan, terutama sejak masa jepang hingga proklamasi, terlihat jelas peranan dan partisipasi aktif umat islam sebagai warga masyarakat yang sama mencita-citakan kemerdekaan bangsa. Coba saja kita lihat tiga orang dari golongan ini (KH. WAHID Hasyim, KH. Mashur dan TM. hasan) bias diperlakukan secara resmi sebagai founding fathers dari Negara ini. Mereka adalah anggota BPUPKI (badan Penyelidik Kemerdekaan indonesia). Jika badan pertama merancanakan UUD, maka yang kedua, pada tanggal 17 Agustus 1945 mengadakan revisi sekedarnya dan mengsyahkan UUD serta memiliki presiden dan wakil presiden.
Berbeda dengan situasi sebelumnya, yang kalangan islam mendapatkan pelayanan lebih besar dari jepang, keanggotan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis sekuler, yang ketika itu lazim disebut golongan kebangsaan. Dibadan inilah soekarno ,mencetuskan ide pancasilanya. Meskipun didalam rumusan pancasila itu terdapat prinsip ketuhaan, tetapi Negara dipisahkan dengan agama.
Setelah itu dialok resmi antara dua golongan terjadi dengan terbuka dalam satu forum. Panitia Sembilan, semacam sebuah komisi dari forum, membahas hal-hal yang sangat mendasar,preamble UUD.  Lima orang mewakili golongan nasionalis sekuler (soekarno, M. hatta, M. yamin, Maramis dan subardjo)  dan 4 orang lainnya mewakili islam (abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasim, Agus Salim dan Abikusno Tjokro sujoso). Kompromi yang dihasilkan panitia ini kelak dikenal piagam  Jakarta . pada prinsip ketuhaan terdapat anak kalimat “ dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Selanjutnya eforia politik ini terhenti dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang juga dikenal sebagai clash II. Tenaga rakyat lebih banyak disalurkan dalam perang melawan Belanda. Setelah Belanda dan Sekutu hengkang dari bumi Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih sistem pemerintahan parlementer yang beranggotakan wakil-wakil daerah, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, dan anggota-anggota yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan perkiraan kekuatan partai politik. Oleh karena itu terdapat beberapa partai politik mendapattkan jumlah kursi cukup signifikan disebabkan klaim massa yang cukup besar.[1]

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Soekarno Dan Perpolitikan Islam
B.     Politik Islam Masa Orde Baru
C.     Perkembangan Islam  Pada Masa  Soekarno
D.    Masalah Agama dan Negara
E.     Pemikira Soekarno Sesudah Kemerdekaan
III.            PEMBAHASAN
A.    Soekarno dan Perpolitikan Islam
Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya.
Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan melakukan manuver politik demikian, maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno.
Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.
Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.
Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.
Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementerian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.
Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongan-golongan non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai “borjuasi nasional”. Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di Asia, guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari Masyumi.
Langkah awal yang dilakukan oleh PKI tersebut terkait dengan agenda politiknya untuk mencegah kemungkinan adanya kerjasama antara Masyumi (dan pecahannya) dengan PNI. Maka kemudian PKI mengeluarkan statemen bahwa Masyumi merupakan golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara Masyumi dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Dalam percaturan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagai ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.[2]

B.      Politik Islam Masa Orde Baru
            Sejak terjadinya G30S PKI, kedudukan Soekarno semakain kritis. Aksi pemuda yang disebut sebagai”Anggatan’66” seperti yang bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) di mana HMI mempunyai peran sangat penting, turun kejalan. Kedudukan soekarno, sehingga soekarno memenuhi keinginan jenderal angkatan darat itu. Sehinga soekarno menulis surat perintah kepada pimpinan angkatan darat, soeharto, untuk mengambil segala tindakan guna menyelamatkan Negara dan melindungi soekarno. Dengan berbekalnya surat itu soeharto mengambil beberapa tindakan : membubarkan PKI pada tanggal 12 maret, menangkap sejumlah menteri yang diduga berindikasi PKI disingkirkan. Sehingga di kalanga umat islam timbullah harapan-harapan. Dengan dihapusnya PKI, tidak ada lagi halangan melaksanakan “syari’at islam” Rupanya umat islam meyadari bahwa memperjuangkan islam lewat jalan politik kurang menguntungkan, perlu jalan yang lain yaitu dahwah, tidak perlu lagi sidang-sidang MPRS pada tahun 1966.[3]
Ada isu untuk menganti UUD 1945 dengan islam. Semua kelompok politik sepakat berpegang kepada pancasila dan UUD 1945. Inilah yang disebut “consensus Nasional.” Namun, muncul consensus lain, yaitu menyederhanakan partai-partai dan menjadikan pancasila sebagai satu-satunya Asas Tunggal bagi semua organisasi. Consensus ini mengalami pembicaraan lama dikalangan umat islam, kemenangan terhadap G30S PKI sebagai kesempatan untuk merehabilitasi masyumi.[4]
C.      Perkembangan Islam  Pada Masa  Soekarno
            Cukup menarik untuk dicatat bahwa dalam teks dekrit yang disampaikan oleh soekarno, ia sama sekali tidak menyebet-nyebut tentang pemilihan umum sebagaimana diminta UUD 1945. Hal ini dapat berarti bahwa ia tidak ingin mendapatkan legiminasi politik melalui pemilihan umum. Seandainya pemilihan umum itu diadakan pada waktu itu, soekarno diperkirakan akan menang, karena hamper semua golongan mendukungnya kekuali masyumi dan PSI yang tetap melawan system demikrasi terpimpinya,sebab dinilai sebagai lawan dari Negara hukum di iindonesia. Mengenai piagam perdana mentri Djuanda berkata : “pengakuanyan adanya piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah.” Pengkuan tersebut akan berpengaruh terhadap UUD 1945, jadi pengakuan tersebut juga mengenai pasal 29 UUD 1945 yang selanjutnya harus menjadi dasar kehidupan hukum dalam bidang keagamaan.
            Dan memang seharusnya demikian. Maka, sekalipun hanya secara implicit, namun gagasan untuk melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk islam tidaklah dimatikan. Disamping itu punya makna juga yang bersifat ahistoris, dengan demikian tugas berat bagi seluruh pemikir dan ulama islam untuk meninjau kembali secara total isi syariat yang diwariskan oleh para yuris muslim abad pertengahan dengan Al Quran dan as sunnah sebagai suluh dalam peninjuan itu, sehingga terasa bahwa hukum-hukum islam adalah hukum-hukum yang dinamis dan progresif sebagaimana ash shidiqy telah menegaskan dalam majelis konstituante. Kebingungan Pakistan untuk membawa syari’at islam dalam kehidupan kenegaraan patut menjadi bahan renungan yang mendalam . jadi, ulama pada zaman soekarno telah mengikuti pada zamannya karena pada masa itu bersamaan dengan terjadinya kemerdekaan, maka islam juga sangat berperan bagi Negara mengingat jasa para pahlawan – pahlawann islam. Jadi islam mempunyai peran penting bagi Negara.[5]
 Dengan demikian umat islam akan menjadi umat yang benar-benar hidup dan mengabdi kepada kepentingan orang banyak. Di samping memiliki jiwa dan semangat taqwa kepada Allah swt. Dengan ketekunan dan kerajinan, ketekunan dan kesabaran dipelajari buku-buku tentang islam baik yang ditulisoleh para orang barat dalam  aneka bahasa maupun buku-buku risalah yang oleh ulama-ulama kita dalam bahasa Indonesia.
Pada masa masakom dekrit presiden pada tanggal 5 juli 1959 membubarkan harapan kelompok islam untuk secara formal menjadikan islam sebagai dasar Negara, tetapi soekarno masih memberikan konsesi bagi kalangan islam dengan menyatakan didalam dekritnya bahwa “piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian  dengan konstisusi tersebut.
Gagasan untuk kembali ke UUD 1945 sebenarnya bukan berasal dari soekarno. A. H. nasution, missal telah berulang kali menyatakan hal itu sejak tahun 1945. Untuk bahan analisa di sini bias dicukupkan saja menikuti prosesnya sejak 22 april 1959, ketika presiden soekarno menyampaikan pidatonya di depan majelis konstituante dengan judul “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Pidato ini pada prinsipnaya meminta dengan sangat agar majelis mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh gagasan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai yang dirumuskan pada tanggal 18 agustus 1945. Diharapkan bilamana usu dasar Negara akan diakhiri.
Perdebatan di konstituanse terjadi kesakah pahaman dan para colonial menyangka bahwa islam bertentangan dengan Nasionalisme, padahal islam tidak bertentanag dengan nasinalisme, yang pasti islam hanyalah bertentangan dengan nasionalisme, yang bersifat sempit yaitu nasionalisme yang membuat satu bangsa yang menentang kepada bangsa anti-islam atau provisinsialisme yang memecah assbiyyah yang diketuk oleh Allah.
Selanjutnya kita telusuri lagi hubungan dekrit 5 juli dan piagam Jakarta. Sebagaimana telah disebutkan  diatas tadi, diantara konsederasi dekrit itu berbunyi :…”bahwa piagan Jakarta tanggal 22 juli 1945 menjiwai UUD dan mereupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Tercantunmnya konsederasi sangat penting ini jelas merupakan suatu kopromi politik lagi antara pertimbangan kita, pancasila dan pendudung dasar islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsederasi itu mempunyai makna secara kontitusional.[6]
D.    Masalah Agama dan Negara
Perbedaan pendapat antara ke dua kelompok tersebut memang dapat dkarena mereka bertolak dari titik pandang yang berbeda. Bagi Soekarno, agama lebih merupakan urusan pribadi masing-masing sehingga pemikiran yang dicetuskannya tidaklah bersumber dari agama. Sebaliknya dengan kelompok agama, agama merupakan titik sentral dari semua pemikirannya. Jadi pada kelompok ini tidak terdapat pemisahan antara masalah agama dan masalah di luar agama seperti politik social dan ekonomi,k semua telah daiatur dalam kedua kitab Qur’an dan Hadis.
Ada beberapa pendapat salah satunya mnenurut kamal Attaturk, pembaharuan turki : saya memerdekakan islam dari ikatannya Negara, agar agama islam bukan tinggal agama memutarkan tasbih di dalam masjid saja, tetapi menjadikan satu gerakan yang membawa kepad perjuangan.
Dan menurut soekarno pembahasan agama diturki bukan menindas dan merugikan tetapi justru akan menyuburkan agama tersebut. Dan sebaliknyapun, maka kemerdekaan agama dari ikatan Negara itu berarti juga kemerdekaan Negara dari ikatan anggapan-anggapan agama yang jumud, yakni kemerdekaan Negara  dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham islam kolot yang sebenarnya bertentangan dengan jiwanya islam sejati, tetapi selalu menjadi rintangan bagi gerakan-gerakan Negara ka arah kemajuan dan kemoderaan. Jadi di sini diperlukan seorang yang sangat kuat  yang akan mampu dan sangup mengendalikan Negara dengan tangan besi, dengan cara yang absolute. Dan cara yang demikian ini tampaknya tak disukai oleh soekarno karena hal tersbut akan bertentangan dengan “islam yang sejati”
Islam sejati adalah satu religieuse democratie, satu kerakyatan yang berstandar kepada persatuan agama. Islam sejati mencamtumkan kepada soal kholifah itu beberapa syarat, yang dua antaranya adalah maha penting, maha riil, kholifah harus dipilih oleh umat islam dan kholifah hasus berkuasa sungguh-sungguh buat menegakkan dan melindungi islam di seluruh kalanga umat.
Kholifah, menurut soekarno, memang pada permulaan dipilih, tetapi pada perkembangan lanjutan tidak lagi. Jabatan kekholifahan telahdiwarikan kepad keturunanya. Bahkan, kadangkan kala persatuan Negara di abaikan, lantaran terdapatnya dua kholifah yang saling bersaingf satu sam lain, dengan cara demokrasi di atas para penguasa agam merangkap penguasa Negara tidak dapat dipertahankan. Dengan pemisahan agama dan Negara seperti yang dilakukan turki dan nampaknya juga disetujui oleh soekarno,apakah islam akan dihilangkan ? menurut pendapat Soekarno tidaklah demikian. Soekarno berpendapat bahwa aspirasi dan keinginan umat islam dapat disalurkan dalam badan-badan perwakilan atau parlemen yang dimiliki oleh setiap Negara demokrasi. Agama yang dipisah dari Negara bukan hnaya di turki saja, tetapi juga di Negara-negara eropa barat dan amerika, di india dan Indonesia. Jadi dalam islam, Negara memang diperlukan untuk mengatur hal-hal yang bersangkutan dengan keduiniaan yang selalu berubah tetapi pengaturan tersebut tidak dapat menyimpang dari apa-apa yang telah ditetapkan dalam Quran yang memang hanya mengatur hal-hal yang pokok mengenai masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingannya selama manusia masih bersifat manusia. Bagi seorang kepala Negara, islam tidak menutup kemunginan untuk melakukan musyawarah dan bahkan wajib dengan orang-orang yang patut memgenai urusan umat,tetapi  bukan dalam hal-hal hukum- hukum yang telah ada ketentuannya dalam islam.[7]
E.     Pemikira Soekarno Sesudah Kemerdekaan
Dasar-dasar pemikiran Nasionalisme Soekarno telah kita uraikan diatas dalam arti pendirian dasar yang mewarnai seluruhnya perilaku politiknya sebelum ia memegang kekuasaan. Pemikiran atau konsep, yang biasanya bersifat idealistis, bahkan sering berbeda dengan kenyataan pratek. Pada beberapa segi memang dapat dimengerti, karena suatu tindakan atau tingkah lakunya seseorangsangat tergantung pada berbagai faktor atau kondisi yang melingkupinya seperti juga halnya pada saat suatu konsep dirumuskan. Dalam bagian ini akan dicoba dilihat sampai seberapah jauhkah soekarno berpegang pada prinsip-prinsip dasar nasionalismenya. Titik berat akan diletakan pada masa-masa menjelang masa demokrasi terpimpin. Alasan Soekarno adalah bahwa pada masa sebelum demokrasi terpimpin soekarno belum sempat menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri lantaran masih berfungsi system parlementer saat kekuasaan berada di tangan partai politik. Pada masa ini adalah masa sesudah kemerdekaan, atau masa Demokrasi Parlementer, adalah masa jayanya partai-partai politik.[8]
Di Indonesia, konsekuensi dari system demokrasi parlementer adalah bahwa berdirinya suatu pemerintahaan atau cabinet ditentukan oleh kuat atau rapuhnya suatu kerja sama atau koalisi antara partai- partai yang memenangkan suara di parlemen. Bahwa kerja sama yamg baik tidak pernah terjadi sehingga cabinet sering jatuh bangun. Pengaruh lain dari kebebasan berpartai  adalah terpilihnya masyarakat ke dalam berbagai kelompok ideology yang kemudian dipertajamkan lagi oleh sentiment primordial yang berlaku.
Ketidak stabilan politik, umpamanya, Nampak dengan meletusnya berbagai gerakan kedaerah antara tahun 1950 – 1958 : Republik Maluku selatan dimaluku selatan, darul islam di jawa barat, Kahar Muzakar di Sulawesi selatan, dan dewan banteng, dewan garuda di Sumatra tengah dan selatan, dan daud beurewueh di aceh.itulah bukti masih rapuhnya pembinaan bangsa, apalagi integrasinya. Pemberontakan dan merosotnya nilai persatuan di dalam masyarakat adalah cermin semakin menajamnya konflik ideology baik antara partai politik maupun antara anggota masyarakat yang sudah dirembesi oleh berbagai kepentingan.[9]

IV.             ANALISIS
Soekarno, dengan berkaca pada perubahan turki semasa kemal pasya atau kemal attaturk, telah membuka polemic dengan M. Nasir Alias A. Muchhlis mengenai agama dan Negara. Dalam argumenttasinya soekarno mengambil contoh turki sedang Natsir memakai landasan quran dan hadits dan Natsir meragukan tindakan attaturk bahwa dengan memisahkan agama dari Negara akan dapat membawa turki kembali menjadi Negara yang subur dan demikian pula bagi agama islam. Dari pendapat Natsir kita juga melihat bahwa hal-hal kedunianawian tidaklah dapat dipisahkan dari agama, bahkan ia menjadi bagiannya, karena bukankah Qur’an telah memuat aturan-aturan keduniawian dan keakhiratan.

V.            KESIMPULAN
Kebangsaan atau nasionalisme. Bagi kelompok agama, segala hal dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya haruslah bersumber dan bertumpu pada Quran dan hadis nabi, sedangkan bagi kelompoak netral agama, dalam hal ini diwakili oleh soekarno, masalah-masalah keduniawian berdiri lepas dari agama. Cinta pada ibu dewi atau pertiwi tindakan dianggap sebagai suatu dosa dan hal tersebut menduduki tempat yang sentral, dan nasionalisme yang dianutnya adalah nasionalisme yang dikembangkan oleh para hamba dunia, para hamba yang membangkitkan diri pada kemanusiaan.
      Dalam kalangan islam sendiri pada massa itu terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah nasionalisme tersebut yaitu apakah nmasionalisme diperlukan dalam islam ataukah tidak. Persatuan muslimin Indonesia atau permi, sebuah partai yang berpusat di bukit tinggi di bawa Mochtar Luthfi, menggunakan asas islam dan kebangsaan. Jadi permi tidak menentang prinsip nasionalisme bahkan nasionalisme itu diperlukan oleh manusia seperti kaki kiri dan kanan, atau islam dan kebangsaan tidak berlawaan.

VI. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesmpurnaan. Oleh karena itu, keritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan umumnya para pembaca makalah ini. Amin………













DAFTAR PUSTAKA
Muasyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2007)
Nazaruddin, Syamsuddin, Soekarno Pemikir Politik dan  Keyataan Pratek,  (Jakarta: PT.   Raja Grfindo Persada.1993)
Syukur Fatah Sejarah Peradaban Islam,(semarang: PT. Pustaka Riski Putra,2009)










[1] Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam,(semarang:PT. Pustaka Riski Putra,2009),hlm.240-241
[3] Sunarto, musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(PT. Raja Grafindo Persada,2007),hlm.76
[4] Ibid, hlm.78
[5] Fatah syukur,op.cit.hlm. 242
[6]Op.cit, hlm. 243-244
[7] Nazaruddin, Syamsuddin, Soekarno Pemikir Politik dan  Keyataan Pratek ( Jakarta: PT. Raja Grfindo Persada.1993)hlm.62-65
[8] Ibid.hlm.74
[9] Ibid. hlm. 76